Pada tahun 9 H, Rasulullah Shallallahu álaihi wa sallam, mengutus Abu Bakr Radhiyallahu ánhu haji bersama kaum muslimin. Pelaksanaan haji ini sangat kuat pengaruhnya, terutama sesudah Pembebasan Makkah. Pintu-pintu mulai terbuka menyambut kaum muslimin berhaji dan umrah, silih berganti.
Peristiwa haji ini dapat dikatakan sebagai persiapan menghadapi haji akbar, yaitu haji wada’. Pada haji Abu Bakr Radhiyallahu ánhu ini, diumumkan batalnya semua perjanjian yang ada dengan kaum musyrikin dan dimulainya tahapan baru kehidupan di jazirah Arab. Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi manusia selain menerima syariat Allah Ta’ala. Setelah ultimatum ini tersebar, kabilah-kabilah Arab mulai yakin urusan ini bukan main-main. Paganisme sudah hancur. Mulailah mereka mengirim utusan menyatakan terang-terangan keislaman mereka.
Abu Bakr Radhiyallahu ‘anhu bertolak dari Madinah bersama tiga ratus orang menuju Tanah Haram yang sudah dibersihkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dari berhala dan tempat-tempat pemujaan. Abu Bakr Radhiyallahu ánhu berangkat membawa lima ekor unta untuk korban, sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim pula 25 ekor yang beliau tandai sendiri.
Termasuk karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin adalah mengembalikan kesucian Bait-Nya sebagaimana dahulu Ibrahim ‘alaihis salam meninggikan fondasinya bersama putra tercinta, Ismail ‘alaihis salam. Lalu turunlah firman-Nya:
“Dan (inilah) suatu permakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin….” (at-Taubah: 3)
Firman Allah Ta’ala:
“Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka. Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (at-Taubah: 17—18)
Dan firman Allah Ta’ala:
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (at-Taubah: 28)
Tak lama, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu menyusul Abu Bakr Radhiyallahu ‘anhu.
‘Ali bin Abi Thalib pun bertemu dengan Abu Bakr Radhiyallahu ‘anhu di ‘Araj. Abu Bakr bertanya, “Apakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukmu memimpin haji?”
“Tidak, “ kata ‘Ali, “Hanya saja saya diutus oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membacakan kepada seluruh manusia bara’ah (surah at-Taubah) dan mengembalikan semua kesepakatan kepada pemiliknya.”
Pada waktu itu, perjanjian antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum musyrikin berlaku selama setahun dan khusus. Dalam satu tahun tidak boleh seorang pun dihalangi dari Baitullah dan tidak boleh seorang pun merasa takut di bulan-bulan haram. Adapun yang khusus adalah perjanjian antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kabilah-kabilah Arab sampai pada waktu tertentu. Dan merupakan tradisi Arab jika membatalkan sebuah perjanjian, dilakukan oleh kerabat terdekat dari orang yang ingin membatalkannya. Itulah sebabnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu.
Uraian ini sekaligus bantahan terhadap kaum Rafidhah yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencopot kedudukan Abu Bakr Radhiyallahu ‘anhu sebagai Amirul Haj dan menggantinya dengan ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu.
Setelah itu, Abu Bakr Radhiyallahu ‘anhu tetap memimpin kaum muslimin haji sementara ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu membacakan bara-ah itu (pernyataan putus hubungan) kepada manusia pada hari nahar, dekat jamrah.
Ketika orang banyak berkumpul di Mina menunaikan manasik haji, ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu berdiri di sebelah Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu lalu membacakan ayat-ayat pertama surat at-Taubah.
Selesai membacakannya, ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu diam sejenak lalu melanjutkan, “Hai manusia, tidak akan masuk surga orang yang kafir. Tidak boleh berhaji sesudah tahun ini seorang musyrik pun. Tidak boleh pula seorang pun thawaf dalam keadaan telanjang. Siapa yang masih mempunyai kesepakatan dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, itu berlaku sampai waktunya….”
Kemudian semua diberi waktu selama empat bulan sejak hari itu, agar setiap orang kembali dengan aman ke negeri mereka.
Sejak saat itu, sempurnalah kesucian Baladul Amin (Makkah) dari kekotoran. Sesudah hari itu, tidak ada seorang musyrik pun yang datang haji ke Makkah. Tidak pula ada seorang kafir pun menetap di sana. Akhirnya, cahaya kebenaran dan iman menembus seluruh pelosok jazirah sampai waktu yang dikehendaki Allah Ta’ala.
Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab Rahimahullah menerangkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunda hajinya dan mengutus Abu Bakr Radhiyallahu ‘anhu agar berhaji bersama kaum muslimin, karena beberapa alasan. Di antaranya:
Bangsa Arab sebagiannya masih dalam kebiasaan jahiliah mereka. Ada yang masih menampakkan kesyirikan terang-terangan di Tanah Suci, thawaf dalam keadaan telanjang, dan masih adanya perjanjian antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Quraisy serta musyrikin lainnya. Itulah sebagian alasan, mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunda haji hingga turun surat al-Bara’ah, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memaklumkan bahwa Baitullah saat ini dan seterusnya dalam kekuasaan tauhid serta di bawah aturan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wallahu a’lam.
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)
Disalin dari: https://asysyariah.com/abu-bakr-menunaikan-haji/