Dalam bagian sebelumnya, telah dikisahkan tatkala perang memanas, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil segenggam tanah lalu melemparkannya ke wajah kaum musyrikin sembari berseru: شَاهَتِ الوُجُوْهُ (wajah-wajah yang buruk), maka tidak tersisa seorang pun dari mereka saat itu melainkan kedua matanya kemasukan tanah.
Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : انْهَزِمُوْا وَرَبِّ مُحَمَّدٍ (kalahlah kalian, demi Rabb-nya Muhammad), maka mereka pun lari mulai berlarian hingga terpukul mundur.[1]
Salah seorang pasukan Hawazin sempat mengisahkan, bahwa ketika mereka hendak mencapai Rasûlullâh, tiba-tiba ada sejumlah pria berwajah tampan mencegah menghalangi mereka sembari berseru: “Wajah-wajah yang buruk, mundurlah kalian!” Sehingga mereka pun kalah setelah mendengar ucapan tersebut.[2]
Terkait dengan kejadian-kejadian terakhir ini, Allâh menurunkan firman-Nya yang berbunyi:
ثُمَّ أَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَنْزَلَ جُنُودًا لَمْ تَرَوْهَا وَعَذَّبَ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ وَذَٰلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ
Kemudian Allâh menurunkan ketenangan-Nya kepada Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Allâh juga menurunkan bala tentara yang tidak kalian lihat, dan menyiksa orang-orang kafir. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir [At-Taubah/9:26]
Setelah itu, ada sejumlah pasukan musuh yang lari ke daerah Authas, yaitu sebuah lembah di perkampungan Bani Hawazin. Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus pasukan di bawah komando Abu Amir al-Asy’ari Radhiyallahu anhu untuk memerangi mereka. Hingga Abu Amir Radhiyallahu anhu menemui syahid dan komando diambil alih oleh Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu. Dan melalui komando perang ini Allâh mengalahkan mereka.
Abu Amir Radhiyallahu anhu sempat berpesan kepada Abu Musa Radhiyallahu anhu agar menyampaikan salamnya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memintakan ampun untuknya. Abu Musa Radhiyallahu anhu lantas menyampaikan pesan tersebut kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan kebaikan bagi Abu Amir.[3]
Ada lagi sejumlah pasukan musuh yang melarikan diri ke sebuah perkebunan korma, namun mereka dikejar oleh pasukan berkuda kaum Muslimin. Sedangkan Bani Tsaqif yang dipimpin oleh Mâlik bin ‘Auf melarikan diri ke Tha’if dan bertahan di dalam benteng mereka di sana. Dari Bani Tsaqif sendiri ada sekitar 70 orang yang tewas.[4]
Al-Bazzar meriwayatkan, ketika kaum musyrikin terpukul mundur, Duraid ibnush-Shimmah bersama 600 orang pasukannya lari berlindung ke sebuah benteng kecil. Mereka lantas melihat satu batalyon kaum Muslimin, maka Duraid berkata, “Biarkan aku melihatnya,” dan setelah melihatnya, Duraid berkata, “Ini adalah Bani Quzha’ah, kalian tidak perlu takut”.
Lalu lewat batalyon berikutnya, dan Duraid berkata, “Ini adalah Bani Sulaim,” kemudian mereka melihat ada seorang penunggang kuda yang datang sendirian dengan mengenakan surban hitam. Duraid pun berkata, “Ini adalah Zubair bin Awwam, dan ia akan melawan kalian dan mengeluarkan kalian dari tempat kalian”.
Zubair Radhiyallahu anhu lantas menoleh ke arah mereka sembari berseru, “Ada apa mereka berkumpul di situ?” Zubair Radhiyallahu anhu lantas menghampiri mereka dan ia dikejar oleh sejumlah pasukan. Zubair Radhiyallahu anhu kemudian berhasil menewaskan 300 orang dari mereka termasuk Duraid ibnush-Shimmah.[5]
Selain Zubair bin Awwam Radhiyallahu anhu, jagoan kaum Muslimin lainnya pada hari itu adalah Abu Thalhah al-Anshari Radhiyallahu anhu yang berhasil menewaskan 20 orang musyrikin dan merampas harta mereka seluruhnya. Karena memang pada saat itu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghalalkan setiap Muslim yang membunuh musuhnya untuk mengambil semua harta musuhnya secara langsung.
Demikian pula Abu Amir al-Asy’ari Radhiyallahu anhu yang sebelum syahid juga berhasil membunuh sembilan bersaudara dari kaum musyrikin. Sedangkan Abu Musa, berhasil membunuh dua bersaudara dari Bani Jusyam bin Mu’awiyah.[6]
Ghanimah Perang Hunain
Ghanimah yang diperoleh kaum muslimin dalam perang ini sangat banyak. Selain mendapatkan berbagai persenjataan dan harta benda, mereka juga mendapatkan tawanan perang berupa anak-anak dan kaum wanita.
Jumlah tentara kaum musyrikin yang terjun konon mencapai 20 – 30 ribu personel. Mereka semuanya lari tunggang langgang meninggalkan harta benda dan wanita mereka. Konon jumlah wanita dan anak-anak yang jatuh menjadi tawanan kaum muslimin mencapai 6.000 orang.[7]
Sedangkan harta bendanya terdiri dari 4.000 uqiyah perak, 24 ribu ekor unta, dan lebih dari 40 ribu ekor kambing.[8]
Rasûlullâh lantas memerintahkan agar semua ghanimah tadi ditahan di Ji’ranah hingga beliau kembali dari pengepungan kota Tha’if.
Salah satu yang jatuh dalam tawanan, adalah Syaima’ binti al-Harits as-Sa’diyyah, saudari sepersusuan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Begitu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenalinya, beliau langsung memuliakannya dan mengembalikannya kepada keluarganya, sebagaimana yang ia inginkan.[9]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sempat didatangi oleh Halimah as-Sa’diyah yang pernah menyusuinya, maka beliau memberikan penghormatan kepadanya dengan membentangkan selendang (rida’) beliau dan mendudukkannya di atasnya.[10]
Pengepungan Benteng Tha’if
Sebagaimana telah disebutkan Bani Tsaqif yang dipimpin oleh Mâlik bin ‘Auf sempat melarikan diri dan bertahan dalam benteng mereka di Tha’if. Rasulullah pun mengerahkan para sahabatnya untuk mengepung dan menaklukkan mereka. Pengepungan berlangsung selama 18 hari.[11]
Manjaniq
Selama pengepungan tadi, untuk pertama kalinya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan persenjataan yang lebih canggih, seperti berikut: Mak-hul meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan manjaniq saat melawan Bani Tha’if.[12]
Manjaniq merupakan senjata berat yang ampuh untuk menghadapi lawan. Batunya dapat menghancurkan dinding, dan bola apinya dapat membakar rumah dan kamp-kamp pasukan. Senjata jenis ini memerlukan sejumlah pasukan dalam pengoperasiannya.
Dabbabah
Senjata berat lain yang dipergunakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pertama kalinya ialah dabbabah. Bentuknya seperti rumah kecil yang terbuat dari kayu dan berfungsi sebagai perisai terhadap panah-panah musuh.
Alat ini dipergunakan saat pasukan pengepung hendak merobohkan dinding benteng. Karena bila mereka masuk ke dalamnya, atapnya akan melindungi mereka dari panah-panah musuh.
Ranjau Duri
Senjata baru berikutnya ialah ranjau duri yang berfungsi sebagai alat pertahanan permanen. Ranjau ini adalah ranting tanaman sa’dan yang berduri mencuat ke tiga arah. Bila disebar di permukaan tanah, ada sebagian duri yang mencuat ke atas sehingga dapat menghalagi laju pasukan berkuda yang melewatinya.
Ibnu Sa’ad menyebutkan, dalam perang Tha’if, “kaum Muslimin menciptakan ranjau tadi dari ranting-ranting” lalu menyebarkannya di sekeliling benteng musuh.[13]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sempat memerintahkan agar kaum Muslimin memotong dan membakar kebun anggur musuh, setelah ada salah seorang pasukan kaum Muslimin terbunuh akibat tembakan panah musuh.
Setelah terjadi penebangan besar-besaran terhadap tanaman anggur mereka, pihak musuh memelas kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar menyisakannya demi Allah dan demi hubungan rahim antara mereka dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Aku akan menyisakannya demi Allâh dan demi hubungan rahim”. Beliau lantas menyuruh seorang penyeru agar mengumumkan bahwa setiap budak yang keluar dari benteng dan menghadap kami, maka ia menjadi orang merdeka.[14]
Usai seruan tersebut, keluarlah sekian belas orang budak dari benteng tersebut dan mendatangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salah satunya adalah Abu Bakrah Radhiyallahu anhu. Hal ini menciutkan nyali warga Tha’if, namun Allâh belum juga menakdirkan kemenangan atas Rasul-Nya.[15]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian meminta pendapat kepada Naufal bin Mu’awiyah ad-Diliy tentang langkah selanjutnya. Naufal menjawab, “Mereka ibarat musang yang bersembunyi di balik batu. Jika engkau menunggunya, maka engkau dapat menangkapnya. Namun jika engkau tinggalkan, ia takkan mengganggumu”.
Mendengar jawaban Naufal, maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu agar mengumumkan bahwa beliau hendak berangkat pulang. Mendengar pengumuman tersebut, kaum muslimin heboh yang mengatakan, “Apa kita akan pulang sebelum Tha’if kita taklukkan?”
Mendengar jawaban tersebut, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali, “Kalau begitu, majulah serang mereka!” Maka mereka pun maju menyerang dan banyak di antara mereka yang terluka.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengumumkan kembali bahwa beliau akan pulang, dan kaum Muslimin gembira mendengarnya. Mereka tak memprotes lagi keputusan tersebut dan segera menyiapkan pelana masing-masing.
Melihat sikap mereka tersebut Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa. Lantas memerintahkan mereka agar berseru:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ
Tiada ilah selain Allâh semata. Dialah yang menepati janji-Nya, menolong hamba-Nya, dan mengalahkan pasukan Ahzab sendirian.
Ketika pasukan mulai bergerak, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh mereka agar berseru:
آيِبُونَ تَائِبُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ
Kami kembali, bertaubat, dan senantiasa memuji Rabb kami.[16]
Lalu ada seseorang yang mengusulkan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,”Wahai Rasûlullâh, doakan agar Bani Tsaqif celaka!” tetapi Rasûlullâh menyambutnya dengan berdoa: “Ya Allâh, berilah hidayah kepada Bani Tsaqif, dan datangkan mereka kepadaku”.[17]
Dari berbagai peristiwa di atas, dapat diambil beberapa faidah sebagai berikut:
Pengagungan Rasûlullâh yang luar biasa terhadap permintaan yang mengatasnamakan Allâh dan hubungan rahim.
Boleh membumihanguskan cadangan logistik musuh untuk memaksa mereka agar menyerah.
Jihad merupakan sarana dan bukan tujuan akhir. Oleh karenanya, ketika musuh yang bertahan dalam bentengnya dianggap tidak lagi membahayakan Islam dan kaum muslimin, maka Rasulullah meninggalkan mereka.
Sifat pengasih Rasûlullâh yang luar biasa, karena beliau tidak mendoakan kecelakaan atas Bani Tsaqif, namun justru mendoakan agar mereka mendapat hidayah.
Dianjurkan melancarkan perang urat syaraf terhadap musuh, seperti dengan menjanjikan hadiah tertentu bagi musuh yang menyerah dan keluar dari bentengnya. Demikian pula dengan membakar sumber logistik mereka dalam keadaan terpaksa.
Pemakaian dabbabah, manjaniq, dan ranjau duri pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan bahwa dalam perang sekalipun, seorang komandan tidak semestinya melakukan serangan tanpa memperhitungkan untung rugi. Hendaklah ia berusaha meminimalkan jatuhnya korban jiwa, baik dengan menggunakan senjata-senjata yang lebih canggih, atau dengan siasat perang yang tepat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVII/1434H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]_______
Footnote
Disalin dari: https://almanhaj.or.id/5505-perang-hunainbagian2.html