- Materi: Modul 1 Aqidah
- Pemateri: Dr. Bilal Phillips
- Live Session: Ustadz Ahmad Wahib
- Buku Panduan:
- Pokok-pokok Tauhid (Aqidah Islamiyyah), Dr. Bilal Phillips
- Syarah Kitab Tauhid, Dr. Bilal Phillips
Aqidah dalam makna syar’i mengacu pada dasar dari iman Islam, kepercayaan atau kita bisa menyebutnya keyakinan Islam. Hal ini bermuara pada Hadits Jibril yaitu ketika beliau menanyakan “apa itu Iman?” kepada Rasulullah dan dijawab, “Iman kepada Allah, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab Allah, Nabi-nabi, Hari Kebangkitan, Qadha dan Qadar yang baik dan buruk darinya.”
Kita juga akan menemukan Ulama dahulu menggunakan istilah tauhid dan mengartikannya keyakinan dasar. Ada juga yang menggunakan istilah Fiqh al-Akbar (yaitu fiqh pada tingkatan yang besar).
Dan tentu saja, batasan pembahasan Aqidah disini adalah aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Mengapa Menyebut Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah?
Kenapa kita tidak mencukupkan diri dengan menyebut (misalnya) Aqidah Islamiyyah, Aqidatul Muslimin. Mengapa harus menggunakan istilah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Jawabannya, untuk membedakan diri dengan mereka yang tidak mengikuti sunnah dan bukan dari Ahlus Sunnah. Contohnya, mereka yang dikenal sebagai syi’ah dan khawarij.
Pembahasan aqidah disini merujuk kepada keyakinan utama seperti yang disampaikan kepada kita oleh generasi awal (Salaf). Buku yang digunakan untuk pembahasan ini adalah Fundamental of Tawheed (karya Dr. Bilal Phillips) yang merupakan rangkuman dari beberapa kitab Tauhid seperti Aqidah Thahawiyyah Imam ath-Thahawi, Taysirul Azizil Hamid Syarh Kitab Tauhid, dan beberapa sumber lain.
Sejarah Ilmu Tauhid
Sebagaimana ilmu-ilmu yang lain, ilmu Tauhid tidak dibagi secara khusus oleh generasi para Sahabat. Karena pemahaman para Sahabat tentang tauhid, tentang aqidah disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung. Klarifikasi apapun yang dibutuhkan oleh para Sahabat, maka akan disampaikan oleh Rasulullah dan hal itu mencukupi bagi mereka Radhiyallahu ‘anhum.
Kebutuhan ini tidak muncul sampai tersebarnya Islam ke tanah Syiria, Palestine, Lebanon, melintasi Afrika, Persia. Penyebaran ke daerah yang mereka memiliki aqidah tersendiri. Ketika itu ilmu tauhid dikembangkan agar orang memahami apa yang boleh, apa yang tidak boleh, apa yang bisa diambil dan apa yang tidak boleh diambil dalam keyakinan dasar agama Islam.
Beberapa Konsep Salah Tentang Tauhid
Terdapat beberapa orang yang membuat klaim tentang tauhid. Mereka berkata tauhid berarti Allah adalah segalanya dan segalanya adalah Allah. Mereka melanjutkan bahwa tauhid berasal dari wahada yang berarti menyatukan untuk menjadikan beberapa hal menjadi satu.
Maka jika kita katakan Allah adalah makhluk dan makhluk-Nya adalah Allah maka kita akan berakhir dengan kesatuan disini. Kita tidak bisa disatukan lagi melebihi itu, dan filosofi ini digencarkan oleh penemunya yang bernama Muhammad ibn Ali ibn Arabi yang aqidah ini dibantah oleh banyak Ulama diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Taqiyyuddin as-Subki, Abu Zur’ah al-Iraqi, Jamaluddin al-Mizzi, Zainuddin al-Kannani, Nuruddin al-Bakri, Syihabuddin al-Asqalani, dll.
Metodologi Ilmu Tauhid
Ilmu Tauhid diambil dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Penjelasan detail tentang hal itu dijelaskan oleh para Ulama, karena kita mungkin sama-sama membaca satu teks tentang tauhid dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, namun para Ulama bisa menyarikan argumen yang tidak kita lihat, tidak kita pahami. Hal ini bukan berarti para ulama membuat-buat pengertian sendiri akan tetapi mereka menerapkan teks dengan suatu cara sehingga dapat menyanggah argumen tertentu yang dipegang oleh non-muslim atau muslim yang tersesat.
Peringatan kepada Syirik
Terdapat peringatan yang dapat kita temukan dalam QS. Yusuf (12) ayat 106, dimana Allah berfirman:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).”
Kebanyakan manusia mengaku bahwa mereka mempercayai adanya Tuhan. Tetapi keadaan kebanyakan mereka adalah terlibat dalam satu atau lebih bentuk kesyirikan. Kenyataan ini bahkan ditemukan pada sebagian besar kaum Muslimin saat ini.
Maka cara untuk memahami pondasi kepercayaan Islam yaitu keimanan kepada Allah adalah dengan mengikuti jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia harus menjadi sumber asal pemahaman kita. Allah menurunkan wahyu kepada beliau, beliaulah yang paling memahaminya. Para Sahabat hidup dengan pemahaman tersebut, mereka yang paling memahami dengan baik.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan agar berhati-hati pada kesyirikan. Beliau menggambar sebuah garis di lurus di tanah dan menggambar cabang pada garis tersebut. Beliau menunjuk pada tengah garis dan berkata, “Inilah jalanku.” dan beliau membacakan surat al-An’am (6) ayat 153:
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.”
Jadi, ini adalah perintah Rasulullah kepada para Sahabatnya. Beliau meninggalkan 2 hal yang mana kaum Muslimin tidak akan tersesat jika berpegang teguh kepadanya, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Yang menunjukkan pentingnya mendasarkan pemahaman kita pada penjelasan dari Rasulullah, sebagaimana kita memahami penjelasan beliau tentang zakat, puasa, dan rukun Islam yang lain.
Kita tidak perlu berpikir rumit, “menurutku puasa harus seperti ini”, “zakat harus seperti itu”, tidak demikian. Kita hanya perlu mengikuti petunjuk beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian juga halnya dengan tauhid. Kita mencukupkan diri dengan petunjuk beliau. Karena jika kita memahami hal ini, maka ini adalah penyelamat kita. Jika kita memahami bagaimana hubungan kita dengan Rabb yang seharusnya, jika kita memahami siapakah Allah, maka kita akan terselamatkan. Meskipun hal-hal (ibadah) lain kita tidak mampu melaksanakannya.
Rasulullah pernah menyebutkan tentang seorang Sahabat yang masuk Syurga tanpa pernah bersujud (shalat) sekalipun. Hal ini bukan kemudian dipahami bahwa kita tidak perlu shalat untuk bisa masuk Syurga. Tidak demikian. Namun kisah tersebut adalah sesuatu yang unik, dimana beliau Radhiyallahu ‘anhu masuk Islam dalam perjalanan menuju perang Badr dan terbunuh sebagai syahid. Dan Rasulullah bersaksi bahwa dia akan masuk Syurga.
Dia tidak melakukan shalat, dia tidak berzakat, dia tidak pernah berhaji. Jadi pemahaman yang benar tentang Allah dan bagaimana hubungan kita dengan-Nya itulah sumber keselamatan. Karena jika seseorang melaksanakan pilar Islam yang lain, tetapi tidak memiliki pemahaman yang benar tentang tauhid, maka semua akan sia-sia tidak bermanfaat.
Karenanya ketika kita ingin mengajak seseorang kepada Islam, kita mengajak mereka pada titik ini. Inilah permulaannya. Misal ada orang non-muslim ingin berpuasa, maka dengan berpuasa belum menjadikannya seorang muslim. Kita harus memberikan pengertian bahwa keselamatan berada pada memahami apa yang menjadi dasar pemahaman dalam Islam: Tauhid.
Puasa adalah alat untuk merealisasikan tauhid. Begitu juga yang lainnya, shalat, zakat, haji semua itu adalah ibadah yang merepresentasikan, mengaktualisasikan tauhid dalam kehidupan kita.
Nasihat untuk Penuntut Ilmu
Kita harus selalu mengingat bahwa dalam studi kita tujuan belajar bukanlah untuk tujuan akademis yang sebenarnya hanya sebuah sarana. Sebagai implementasi dari hal prinsip. Hal ini seharusnya membantu kita memahami pondasi keimanan kita, untuk dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan kita, dan untuk menyampaikannya kepada orang lain.
Seperti perkataan Ibunda Sufyan ats-Tsauri, “Wahai anakku, jika kamu belajar suatu baris ilmu, dan itu tidak mempengaruhi keimananmu, maka periksalah niatmu.”
Jika apa yang kita pelajari tidak memberikan efek pada diri kita, mendekatkan kita kepada Allah, membuat kita lebih teguh dalam keimanan, maka itu berarti kita memiliki niat yang salah.